Oleh : Nando Watu
BEBERAPA waktu lalu kita pernah dihebohkan dengan buku berjudul “Atlantis : The Lost Continent” karya Arysio Santos, dalam bukunya disebutkan bahwa Indonesia adalah Atlantis yang hilang, Ia menegaskan bahwa Indonesia adalah daerah yang paling kaya, paling tua, paling beragam di bumi.
Apa yang telah diletakkan oleh Arysio dilanjutkan pula dalam karya Oppenheimer seorang dokter dan peneliti dari Universitas Oxford, London Inggris dengan judul Eden in the East, Eden di Timur, yang menegaskan bahwa Eden yang hilang itu ada di Timur, di Sundaland, dan di sana menjadi awal dari peradaban dunia.
Kedua penulis ini menjadi gerbang untuk masuk ke dalam rana pemikiran lebih lanjut beserta pembuktian untuk menyimpulkan di manakah Edendi timur itu?
Flores: Pusat dan Penentu Peradaban Dunia
Secara historis nama Flores berasal dari bahasa portugis “cabo de Flores” yang berarti tanjung bunga. Nama yang diberikan pada tahun 1544 oleh S.M. Cabot, pelaut dari semenanjung Iberia, Portugis ini kemudian resmi digunakan sejak 1636 oleh Gubernur Jederal Hindia Belanda Hendrik Brouwer.
Sebelum nama Flores masyarakat Flores sendiri membabtis nama Nusa Nipa untuk pulau ini, nama ini lebih mengandung nilai filosofis dan kultural, representasinya bisa dibuktikan lewat tenun ikat yang motifnya ibarat kulit ular dan beberapa tradisi tarian juga berbentuk seperti ular, tarian dolo-dolo di Flotim atau Gawi- di Lio.
Bila berbalik kepada realitas dan sejarah ada sejumlah hal yang menegaskan mengapa Flores oleh penulis dikatakan sebagai Eden yang hilang dan pusat serta penentu peradaban dunia.
Pertama, Eden, dalam kamus pemikiran manusia diungkapkan sebagai tempat awal mula kehidupan manusia, ia menjadi tempat manusia pertama hidup, di sanalah alam yang subur nan indah bertakhta, keanekaragaman binatang tumbuhan dan relief alam yang beraneka mengisi ruang taman ini. Singkat kata Eden adalah daerah atau tempat yang penuh dengan berkat keindahan.
Flores adalah Eden yang indah itu, dari ujung barat hingga timur keindahan Flores tak terbantahkan baik dari sisi laut maupun darat, begitu pula tradisi kebudayaan manusianya yang menghuni di dalamnya.
Pada sisi lain ditegaskan lagi oleh kehadiran hewan purba di ujung barat pulau Nusa Bunga ini, Komodo. Komodo adalah satu-satunya warisan binatang Purba yang masih ada dan hidup di dunia, tak ada satupun hewan purba yang masih hidup selain komodo.
Suatu yang purba berarti yang dahulu kala, yang berada dalam ruang “konon”. Kelimutu, danau tiga warna yang menyimpan misteri alam semesta karena warna yang berubah dan letaknya di atas gunung, (ingat, danau selalu berada di lembah, dataran rendah) pun menjadi fakta pendukung lainnya.
Berhadapan dengan keindahan Kelimutu manusia hanya mampu berkata, begitu indah karyaMu Tuhan. Kedua objek ini, khas unik, antik dan ia menjadi pintu masuk Ke taman Eden-Flores melalui rumah pariwisata.
Dalam dan melalui Komodo dan Kelimutu, pintu bagi manusia di seluruh penjuru dunia untuk datang ke Flores tegah dibuka. Keduanaya semacam panggilan bagi dunia untuk mengalami Flores. Inilah Flores Eden yang hilang, lihat dan saksikanlah.
Kedua, argumentasi tanpa pembuktian di hadapan manusia yang berpijak pada rationalitas, ibarat anjing menggonggong kafila berlalu, karena itu mari kita sejenak berbalik ke pada fakta dan sejarah.
Berdasarkan penelitian sejarah yang di lakukan di seputar pulau Flores ditemukan beberapa fakta yang mengguncang ilmu pengetahuan dunia, Gajah raksasa Flores, stegedon trigonocephalus Florensisyang ditemukan di Ola Bula Ngada Flores, telah mementahkan teori Walace yang mengaskan bahwa hewan-hewan besar hanya hidup di daerah Jawa, Sumatara dan Kalimantaan.
Selain itu, penemuan manusia purba di Liang Toge dan Kloang Popot oleh P.Verhoeven, SVD tahun 1954 yang mana ditemukann adanya manusia kerdil yang tingginya hanya 146 cm, dan diperkirakan hidup 300.000 tahun SM. Penemuan ini amat penting bagi dunia internasional karena merupakan satu-satunya fosil manusia terlengkap di dunia yang pernah ditemukan higga saat ini.
Penemuan ini lebih lanjut oleh Profesor Huizinga dari Universitas Utrecht Belanda sebagai jenis manusia negrito yang pernah berdiam di Flores tetapi jenisnya lebih tua sehingga disebut Protonegrito Florensis, ia hidup pada zaman batu Palaeolitichum.
Masih juga ditemukan berbagai peradaban tua di Flores, sepeti homo floresiensis di Liang Bua, atau beberapa peradaban jaman batu, misalnya patung manusia dari batu atau perahu batu (watu rajo)yang saat ini bisa dinikamati di beberapa lokasi di Flores atau lebih lengkap termuat di Museum Bikonblewut Ledalero.
Menarik bahwa hingga saat ini kebudayaan batu masih melekat dalam manusia Flores, kita bisa bandingkan dengan kampung Bena di Bajawa atau tradisi tubu musu di Lio-Ende.
Ketiga, mitos. Titik garis sejarah adalah melalui apa yang mampu ditulis atau didokumntasikan. Sejarah dikenal melalui tulisan, tanpa suatu yang ditulis tidak akan ada sejarah. Story without documentary is nothing.
Dalam tradisi suku-suku asli di Flores tak ada satupun suku yang mewarisikan tradisi melalui tulisan, semuanya diwariskan lewat cerita lisan. Dengan ini tidak berarti bahwa Flores tidak memiliki sejarah. Logikanya adalah antara yang terulis dan yang lisan pasti lebih awal lisan. Karena ada lisan maka ada yang tertulis, bukan sebaliknya.
Bila digali mengenai cerita atau mitos ada begitu banyak cerita tentang awal dunia oleh suku-suku asli di sepanjang pulau ular ini, seperti suku Lio misalnya, mengenal cerita/folkor tentang awal dunia, bahwa antara langit dan bumi masih bersatu, dan dihubungkan oleh sebuah tali. Jarak langit dan bumi begitu dekat sehingga manusia bisa turun naik, untuk ini dikenal ungkapan liru menga sesiku tana menga se baga.
Langit dan bumi baru terpisah saat tali itu diputuskan ( toa lele pate leke), di sana dunia dan langit terpisah langit makin ke atas dan bumi makin ke bawah (liru lera mesi deso). Tali yang diputuskan ini hingga saat ini masih ada, bahkan cerita tentang manusia pertama adam dan hawa (ana kalo) atau nabi Nuh (mesi nuka tana lala), dewi padi/sry ine Pare, juga mengalir di masyarakat lokal beserta pembuktiannya. Tidak sebatas mitos namun didukung dengan pembuktian, menyajikan cerita serentak saksi fakta, inilah yang kita amati diseputar keyakinan suku-suku asli di Flores.
Keempat, Suku-suku di Flores menggambarkan tentang penghargaan yang tinggi atas alam dan segala isinya. Tanah dilihat sebagai sumber hidup, ibu yang melahirkan kehidupan. Dengan menghargai alam dan segala isinya manusia hidup dalam kedamaian dan ketenangan, Wujud dari penghargaan itu diungkapkan dengan mengorbankan hewan kurban dan memberikan sesajian atau ritual tertentu terhadap alam dan sekitarnya.
Begitu akrab dengan alam, tidak heran bila melakukan ritual permohonan hujan misalnya, alam justru mengabulkan. Luar biasa. Kalau boleh jujur tak ada satupun ilmu pengetahuan modern yang bisa meminta hujan. Jika mengarah pada tradisi keimanan, atau religius, manusia Flores juga sudah mengakui akan adanya Pencipta.
Sebelum kehadiran agama tekstual, agama Abrahamis, manusia Flores lebih dahulu mengakui akan hadirnya Pencipta alam dan segala isinya dengan berbagai sebutan, Lero Wula tana ekan, Mori kraeng, Dua Nggae, Ina niang tana wawa, ama lero wulang, Mori Meze dll. (Bersambung)
Penulis : Kontributor Floresbangkit.com, Peminat Masalah Sosial Budaya
0 comments:
Post a Comment